Masih inget sepenggal kutipan yang ni orang ambil dari
sebuah novel laris di toko buku Idul Adha lalu? Tepat setelah UTS benar-benar
dikatakan berakhir, ni orang langsung ngejar kereta di tengah hujan badai
menghampiri Kota Bogor (maaf kalo sebenarnya itu cuma ujan rintik-rintik)
supaya nggak terlambat ke toko buku alias tutup. Perjuangannya ternyata nggak
mudah, karena ni orang harus rela nungguin transitan kereta yang lumayan lama,
desek-desekan di dalam kopaja yang lumayan padetnya pol, dan berdiri di dalam
kopaja lebih dari satu jam gara-gara kena macet yang notabene jam pulang kantor
saat itu. Namun, tetap ngerasa seneng banget, karena, seperti janji di Idul Adha kemaren, ni orang akhirnya
berhasil ngerebut ni novel dari singgasananya di rak buku laris. Yippiy...
Penasaran sama ceritanya, akhirnya sesampainya di rumah, ni
orang langsung mulai ngebaca dan berhasil namatin itu buku cuma dalam waktu 4
jam saja (maaf kalo bagi ni orang itu WOW sekali). Di kata pengantar (maaf kalo
ini bukan SKRIPSI!! *sensitif) novel
ini, diceritakan bahwa seluruh novel yang dibuat sang penulis merupakan
cuplikan hidup dan sepenggal kisah kehidupannya. Di awal cerita, rada-rada sedikit menyesal
karena, seakan-akan ngebaca novel teenlit zaman bahela. Tapi, seterusnya,
lumayan bagus alur ceritanya. Bagus dari alur ceritanya yang nggak banyak
nunjukin kesan cinta-cintaan yang kalo kebanyakan bikin bosen. Spesialnya, novel
ini lebih nunjukin cerita kehidupan dari masing-masing tokoh. Yang lebih
ngenanya lagi, di novel ini nyeritain bahwa kekayaan nggak berarti apa-apa.
Tapi, dengan ilmu orang lebih terlihat terpandang. Keren..
Berkat novel ini, ni orang jadi sedikit terbuka pemikirannya
tentang peran dokter belakangan ini. Selama ini terbesit dipikiran ini, bahwa
kebanyakan orang susah-susah ngejar fakultas kedokteran hanya demi prestise dan
harga diri semata. Ni orang juga sempet berfikir begitu banyak orang
berbondong-bondong ngejar fakultas kedokteran, rela ngabisin waktu dan umurnya
buat bisa memakai jas praktik kebanggan itu, tapi, kesehatan di Indonesia nggak
kunjung membaik. Bahkan banyak malpraktik merajalela. Namun, lewat novel ini
sedikit merubah pemikiran ini, bahwa sebenarnya, seorang dokter merasa dingin
ke pasiennya bukan sepenuhnya keinginannya, tapi, karena usaha seorang dokter
membentengi diri dari kesedihan seorang dokter yang pasiennya satu persatu
meninggal. Selain itu, di cerita ini juga diceritakan seorang dokter yang
selalu menyimpan foto-foto pasiennya yang meninggal dunia karena, seorang
pasien sudah cukup merasa bahagia apabila mendapatkan dokter yang merawatnya
masih mengingatnya ketika pasiennya sudah meninggal dunia. Terharu...karena
ternyata masih ada dokter “berperasaan” ditengah sekian dokter yang ada di
dunia ini walaupun, hanya di cerita novel belaka...
Berkat novel ini juga ni orang sadar bahwa nggak sebaiknya
melihat seseorang dari luarnya saja. Bahwa kebenaran kata-kata “don’t judge the
book by it’s cover” itu benar adanya. Belum tentu orang kaya itu bahagia dan
jahat dan juga belum tentu orang miskin itu sengsara dan menyedihkan. Bahwa
kalau seseorang memiliki tekad, maka tekad itu akan mengalahkan ketakutannya.
Bahwa hidup harus bermakna untuk orang lain. Bahwa hidup itu sulit dan agar
terus hidup harus bisa menghadapi dan mengatasi segala tantangan...
Berkat novel ini juga ni orang banyak belajar dari tokoh
utama dari novel ini, bahwa sebenarnya mereka berdua saling menyukai dari SMA,
namun, sang pria hanya mengirim sinyal tanpa memberitahu perasaan yang
sebenarnya pada sang wanita. Namun, sang wanita setia menunggu sang pria hingga
lima tahun, menunggu pengakuan yang sebenarnya dari pria tersebut. Hingga suatu
ketika, kedua orang tersebut bertemu di pernikahan temannya dan berjanji untuk
bertemu kembali. Di pertemuan selanjutnya, sang pria memberikan pengakuan bahwa
sebenarnya dia menyukai sang wanita sejak SMA hingga detik itu. Sang wanita
juga membalas pengakuan tersebut dan ikut mengakui hal tersebut. Mendengar hal
itu, sang pria merasa kaget dan sedih sambil menunjukkan cincin emas putih yang
melingkar di jari manis tangan kirinya, bahwa dia memiliki janji hati yang lain,
bahwa bagaimanapun mereka tidak bisa bersatu.
Bahwa ada beberapa hal yang harus dikatakan baru bisa dimengerti. Hal
ini yang sama berlaku untuk rasa suka.
Jika memang menyukainya, maka harus mengatakannya...
Berkat novel ini juga, ada sepenggal kalimat di novel ini
yang juga ingin disampaikan pada seseorang...
“Saat ini, bagiku keluargaku dan temanku saja sudah cukup.
Tapi kelak, jika aku sudah mampu untuk mencintai seorang laki-laki sepenuhnya,
orang itu mungkin adalah kau...”
No comments:
Post a Comment