Saturday, November 3, 2012

Seandainya...Tentang Rasa Yang Tak Kunjung Terucap



Masih inget sepenggal kutipan yang ni orang ambil dari sebuah novel laris di toko buku Idul Adha lalu? Tepat setelah UTS benar-benar dikatakan berakhir, ni orang langsung ngejar kereta di tengah hujan badai menghampiri Kota Bogor (maaf kalo sebenarnya itu cuma ujan rintik-rintik) supaya nggak terlambat ke toko buku alias tutup. Perjuangannya ternyata nggak mudah, karena ni orang harus rela nungguin transitan kereta yang lumayan lama, desek-desekan di dalam kopaja yang lumayan padetnya pol, dan berdiri di dalam kopaja lebih dari satu jam gara-gara kena macet yang notabene jam pulang kantor saat itu. Namun, tetap ngerasa seneng banget, karena, seperti janji  di Idul Adha kemaren, ni orang akhirnya berhasil ngerebut ni novel dari singgasananya di rak buku laris. Yippiy...

Penasaran sama ceritanya, akhirnya sesampainya di rumah, ni orang langsung mulai ngebaca dan berhasil namatin itu buku cuma dalam waktu 4 jam saja (maaf kalo bagi ni orang itu WOW sekali). Di kata pengantar (maaf kalo ini bukan SKRIPSI!! *sensitif)  novel ini, diceritakan bahwa seluruh novel yang dibuat sang penulis merupakan cuplikan hidup dan sepenggal kisah kehidupannya.  Di awal cerita, rada-rada sedikit menyesal karena, seakan-akan ngebaca novel teenlit zaman bahela. Tapi, seterusnya, lumayan bagus alur ceritanya. Bagus dari alur ceritanya yang nggak banyak nunjukin kesan cinta-cintaan yang kalo kebanyakan bikin bosen. Spesialnya, novel ini lebih nunjukin cerita kehidupan dari masing-masing tokoh. Yang lebih ngenanya lagi, di novel ini nyeritain bahwa kekayaan nggak berarti apa-apa. Tapi, dengan ilmu orang lebih terlihat terpandang. Keren..

Berkat novel ini, ni orang jadi sedikit terbuka pemikirannya tentang peran dokter belakangan ini. Selama ini terbesit dipikiran ini, bahwa kebanyakan orang susah-susah ngejar fakultas kedokteran hanya demi prestise dan harga diri semata. Ni orang juga sempet berfikir begitu banyak orang berbondong-bondong ngejar fakultas kedokteran, rela ngabisin waktu dan umurnya buat bisa memakai jas praktik kebanggan itu, tapi, kesehatan di Indonesia nggak kunjung membaik. Bahkan banyak malpraktik merajalela. Namun, lewat novel ini sedikit merubah pemikiran ini, bahwa sebenarnya, seorang dokter merasa dingin ke pasiennya bukan sepenuhnya keinginannya, tapi, karena usaha seorang dokter membentengi diri dari kesedihan seorang dokter yang pasiennya satu persatu meninggal. Selain itu, di cerita ini juga diceritakan seorang dokter yang selalu menyimpan foto-foto pasiennya yang meninggal dunia karena, seorang pasien sudah cukup merasa bahagia apabila mendapatkan dokter yang merawatnya masih mengingatnya ketika pasiennya sudah meninggal dunia. Terharu...karena ternyata masih ada dokter “berperasaan” ditengah sekian dokter yang ada di dunia ini walaupun, hanya di cerita novel belaka...

Berkat novel ini juga ni orang sadar bahwa nggak sebaiknya melihat seseorang dari luarnya saja. Bahwa kebenaran kata-kata “don’t judge the book by it’s cover” itu benar adanya. Belum tentu orang kaya itu bahagia dan jahat dan juga belum tentu orang miskin itu sengsara dan menyedihkan. Bahwa kalau seseorang memiliki tekad, maka tekad itu akan mengalahkan ketakutannya. Bahwa hidup harus bermakna untuk orang lain. Bahwa hidup itu sulit dan agar terus hidup harus bisa menghadapi dan mengatasi segala tantangan...

Berkat novel ini juga ni orang banyak belajar dari tokoh utama dari novel ini, bahwa sebenarnya mereka berdua saling menyukai dari SMA, namun, sang pria hanya mengirim sinyal tanpa memberitahu perasaan yang sebenarnya pada sang wanita. Namun, sang wanita setia menunggu sang pria hingga lima tahun, menunggu pengakuan yang sebenarnya dari pria tersebut. Hingga suatu ketika, kedua orang tersebut bertemu di pernikahan temannya dan berjanji untuk bertemu kembali. Di pertemuan selanjutnya, sang pria memberikan pengakuan bahwa sebenarnya dia menyukai sang wanita sejak SMA hingga detik itu. Sang wanita juga membalas pengakuan tersebut dan ikut mengakui hal tersebut. Mendengar hal itu, sang pria merasa kaget dan sedih sambil menunjukkan cincin emas putih yang melingkar di jari manis tangan kirinya, bahwa dia memiliki janji hati yang lain, bahwa bagaimanapun mereka tidak bisa bersatu.  Bahwa ada beberapa hal yang harus dikatakan baru bisa dimengerti. Hal ini yang sama berlaku untuk rasa suka.  Jika memang menyukainya, maka harus mengatakannya...

Berkat novel ini juga, ada sepenggal kalimat di novel ini yang juga ingin disampaikan pada seseorang...
“Saat ini, bagiku keluargaku dan temanku saja sudah cukup. Tapi kelak, jika aku sudah mampu untuk mencintai seorang laki-laki sepenuhnya, orang itu mungkin adalah kau...”

No comments:

Post a Comment