Friday, September 28, 2012

Tetesan Rona Kesedihan


Kintan sibuk berusaha merawat teman terbaik satu asramanya disekolahnya yang sedang mengalami panas tinggi sejak malam kemarin. Segala hal dilakukan yang terbaik untuk teman tersayangnya tersebut. Hingga suatu ketika terbesit di benak kintan ketika ia memberikan suapan biskuit terakhir ke teman tersayangnya itu. Suapan terakhir tersebut membuatnya membatin, menerawang jauh, dan mencoba mengeluarkan ingatan-ingatan yang sempat dilupakannya mengenai sosok  yang paling aneh sekaligus hebat di dunia ini....

Bunda....Bukanlah bunda yang biasa terlihat kebanyakan di berbagai belahan dunia ini yang memiliki kelembutan sehalus sutera yang putih. Bundaku yang satu ini sangatlah pemarah dan penuh emosi. Tidak jarang ayah dan kakakku menjadi amuk emosi terdalamnya. Bunda....Bukanlah bunda yang merupakan tempat curhat nomor satu bagi tiga anak perempuannya. Bundaku yang satu ini sering membanding-bandingkan buah hatinya dengan orang lain seakan-akan tidak ada satu orang pun dari kami bertiga yang cukup memberikan kepuasan baginya sebagai hadiah terindah yang dititipkan kepadanya. Bunda....Bukanlah yang selalu tidak pernah ketinggalan memberikan ucapan selamat malam dikala bulan bersiaga dan ucapan selamat pagi dikala fajar menyingsing. Bahkan, bundaku yang satu ini bukanlah bunda yang selalu menanyakan kabar buah hatinya tiap detik dan tiap menit. Bunda...Betapa banyak hati ini bergejolak tanpa henti membicarakanmu. Kadang raga ini memberontak meminta Bunda untuk menghentikan sejenak segalanya yang membuatku membencimu. Tak jarang engkau juga terlihat sedih melihat perbuatan susah diatur anakmu yang sudah beranjak dewasa ini. Namun, suatu ketika ada sesosok orang yang terlewat dari pandangan ini ketika semua kejadian tidak mengenakkan ini terjadi. Ayahku....

Ayahku...tidak pernah ayahku melontarkan kata-kata yang menyakitkan ketika Bunda memuntahkan luapan emosinya. Ayahku...hanya diam mendengarkan tanpa membalikkan satu katapun yang dilontarkan Bunda kepadanya. Ayahku...tidak pernah membenci Bunda atas segala perbuatan yang menyakitkan hatinya. Ayahku...juga tidak pernah berniat untuk berpisah dengan Bunda tiap hal ini terjadi. Tidak jarang aku tercengang ketika justru ayahku melemparkan lelucon yang justru akhirnya membuat Bunda menarik bibirnya untuk tersenyum. Dalam suatu keadaan menyusuri jalan bersama ayahku, aku memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan yang sering memenuhi otakku ini. Tapi, ayahku hanya menjawab dengan ringan dan tetap tersenyum “Kintan kan yang satu darah sama Bunda. Seharusnya, Kintan yang lebih mengerti” Sejenak, jawaban singkat ayah membuatku tertegun dan lagi-lagi membuat hatiku teriris...

Cinta bukanlah ketika kita menerima seseorang atas dasar kesamaan perilaku. Tapi, cinta ialah ketika kita menerima seseorang atas dasar perbedaan perilaku dan menerimanya sebagai suatu kelebihan. Begitu juga yang seharusnya diberikan seorang anak terhadap Bundanya. Barulah sejak itu, segala pikiran menyadarkan bahwa semua hal yang Bunda lontarkan lewat emosinya tidak lain bahwa sebenarnya Bunda khawatir terhadap anaknya. Bahwa sebenarnya, bukan  kata-kata manis yang sebenarnya harus Bunda terus sodorkan kepada anaknya, namun, doalah yang selalu mengalir lewat setiap detik ucapan seorang Bunda lewat sholatnya ialah yang paling mujarab untuk melihat buah hatinya agar terus diberikan kesuksesan dalam meraih segala keinginannya dan dirangkul disetiap detik kesedihan oleh-Nya. Bahwa Bunda memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan rasa cinta dan kasihnya kepada tiga anaknya...

Kintan segera menyelimuti temannya agar segera sembuh dari sakitnya. Kemudian bergegas keluar dan berlari ke koridor asrama. Tanpa sadar mulai merogoh saku dan mengeluarkan ponsel untuk menghubungi sosok yang saat ini sangat berarti untuk dirinya. “Halo” Tak lama setelah terdengar jawaban dari ponselnya, seketika air mata ini tidak tahan untuk menetes “Halo Bunda.........”.  

No comments:

Post a Comment