Kintan sibuk berusaha merawat teman terbaik satu asramanya
disekolahnya yang sedang mengalami panas tinggi sejak malam kemarin. Segala hal
dilakukan yang terbaik untuk teman tersayangnya tersebut. Hingga suatu ketika
terbesit di benak kintan ketika ia memberikan suapan biskuit terakhir ke teman
tersayangnya itu. Suapan terakhir tersebut membuatnya membatin, menerawang jauh,
dan mencoba mengeluarkan ingatan-ingatan yang sempat dilupakannya mengenai sosok
yang paling aneh sekaligus hebat di
dunia ini....
Bunda....Bukanlah bunda yang biasa terlihat kebanyakan di
berbagai belahan dunia ini yang memiliki kelembutan sehalus sutera yang putih.
Bundaku yang satu ini sangatlah pemarah dan penuh emosi. Tidak jarang ayah dan
kakakku menjadi amuk emosi terdalamnya. Bunda....Bukanlah bunda yang merupakan
tempat curhat nomor satu bagi tiga anak perempuannya. Bundaku yang satu ini
sering membanding-bandingkan buah hatinya dengan orang lain seakan-akan tidak
ada satu orang pun dari kami bertiga yang cukup memberikan kepuasan baginya
sebagai hadiah terindah yang dititipkan kepadanya. Bunda....Bukanlah yang selalu
tidak pernah ketinggalan memberikan ucapan selamat malam dikala bulan bersiaga
dan ucapan selamat pagi dikala fajar menyingsing. Bahkan, bundaku yang satu ini
bukanlah bunda yang selalu menanyakan kabar buah hatinya tiap detik dan tiap
menit. Bunda...Betapa banyak hati ini bergejolak tanpa henti membicarakanmu.
Kadang raga ini memberontak meminta Bunda untuk menghentikan sejenak segalanya
yang membuatku membencimu. Tak jarang engkau juga terlihat sedih melihat
perbuatan susah diatur anakmu yang sudah beranjak dewasa ini. Namun, suatu
ketika ada sesosok orang yang terlewat dari pandangan ini ketika semua kejadian
tidak mengenakkan ini terjadi. Ayahku....
Ayahku...tidak pernah ayahku melontarkan kata-kata yang
menyakitkan ketika Bunda memuntahkan luapan emosinya. Ayahku...hanya diam
mendengarkan tanpa membalikkan satu katapun yang dilontarkan Bunda kepadanya.
Ayahku...tidak pernah membenci Bunda atas segala perbuatan yang menyakitkan
hatinya. Ayahku...juga tidak pernah berniat untuk berpisah dengan Bunda tiap
hal ini terjadi. Tidak jarang aku tercengang ketika justru ayahku melemparkan
lelucon yang justru akhirnya membuat Bunda menarik bibirnya untuk tersenyum.
Dalam suatu keadaan menyusuri jalan bersama ayahku, aku memberanikan diri untuk
melontarkan pertanyaan yang sering memenuhi otakku ini. Tapi, ayahku hanya
menjawab dengan ringan dan tetap tersenyum “Kintan kan yang satu darah sama
Bunda. Seharusnya, Kintan yang lebih mengerti” Sejenak, jawaban singkat ayah
membuatku tertegun dan lagi-lagi membuat hatiku teriris...
Cinta bukanlah ketika kita menerima seseorang atas dasar
kesamaan perilaku. Tapi, cinta ialah ketika kita menerima seseorang atas dasar
perbedaan perilaku dan menerimanya sebagai suatu kelebihan. Begitu juga yang
seharusnya diberikan seorang anak terhadap Bundanya. Barulah sejak itu, segala
pikiran menyadarkan bahwa semua hal yang Bunda lontarkan lewat emosinya tidak
lain bahwa sebenarnya Bunda khawatir terhadap anaknya. Bahwa sebenarnya, bukan kata-kata manis yang sebenarnya harus Bunda
terus sodorkan kepada anaknya, namun, doalah yang selalu mengalir lewat setiap
detik ucapan seorang Bunda lewat sholatnya ialah yang paling mujarab untuk
melihat buah hatinya agar terus diberikan kesuksesan dalam meraih segala
keinginannya dan dirangkul disetiap detik kesedihan oleh-Nya. Bahwa Bunda
memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan rasa cinta dan kasihnya kepada tiga
anaknya...
Kintan segera menyelimuti temannya agar segera sembuh dari
sakitnya. Kemudian bergegas keluar dan berlari ke koridor asrama. Tanpa sadar
mulai merogoh saku dan mengeluarkan ponsel untuk menghubungi sosok yang saat
ini sangat berarti untuk dirinya. “Halo” Tak lama setelah terdengar jawaban
dari ponselnya, seketika air mata ini tidak tahan untuk menetes “Halo Bunda.........”.
No comments:
Post a Comment